Antara Nasionalisme dan Cita-cita Hidup
- Beranda
- Kabar Revolusi Mental
- Berita Dan Artikel
- Antara Nasionalisme dan Cita-cita Hidup

Antara Nasionalisme dan Cita-cita Hidup
Kabar
foto: (sumber: cermati.com)
Mendikbud mengimbau agar para mahasiswa dan alumni
sekolah di luar negeri untuk mau kembali ke Indonesia dan mengabdi kepada
bangsa. Karena dampaknya dapat sangat besar bagi negara.
Saat ini,
masyarakat di seluruh dunia menyadari bahwa kunci kemajuan sebuah bangsa
terletak pada sumber daya manusianya, sementara paradigma kebergantungan dunia
terhadap sumber daya alam telah bergeser ke arah sumber daya manusia. Namun,
hal terpenting yang perlu disadari adalah bahwa tanpa kerja keras, makin sulit
mengantarkan bangsa dan negara ini pada kemajuan. Generasi muda yang kelak akan
jadi pemimpin bangsa, baik yang tengah menempuh pendidikan di dalam maupun luar
negeri, dipercaya akan mampu membawa Indonesia kepada kemajuan tadi.
Khusus untuk mereka
yang menempuh pendidikan di luar negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim mengajak agar seluruh mahasiswa Indonesia
yang telah selesai menimba ilmu di luar negeri untuk kembali dan membangun
Indonesia. “Mohon kembali ke tanah air, negara Indonesia membutuhkan Anda,â€
katanya saat memberi sambutan pada Penutupan Simposium Internasional Online
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia 2020 secara daring, akhir Agustus
2020 lalu.
Mendikbud juga
mengimbau agar kesempatan belajar di negeri orang harus dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Belajar di luar negeri, tambahnya, adalah kesempatan untuk
menimba ilmu, pengalaman, membangun jaringan, dan mengenalkan budaya tentu akan
sangat berguna dalam meningkatkan kompetensi diri dan memberikan kontribusi
bagi bangsa. Namun, Mendikbud kembali mengingatkan kalau setelah lulus, Dia
meminta para lulusan luar negeri itu untuk kembali ke tanah air. “Karena besar
sekali dampaknya yang teman-teman bisa lakukan untuk Indonesia,†ujarnya lagi.
Mendikbud dalam
pertemuan secara daring ini menyampaikan rasa bangganya terhadap capaian
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia yang telah menjalankan kiprahnya
sebagai perhimpunan terbesar yang ada di luar negeri dan berharap PPI dapat
menunjukkan kontribusinya bagi kemajuan Indonesia.
Koordinator PPI
Dunia periode 2019/2020, Fadlan Muzakki, dalam pertemuan itu lalu mengajak
rekan-rekan PPI untuk lebih berkontribusi membangun Indonesia di luar negeri.
""Ketika Kita kembali ke Indonesia, Kita bisa berkolaborasi di dunia yang
lebih nyata. Masih ada ikrar bagi teman-teman yang aktif berorganisasi untuk
(terlibat) organisasi yang bersifat sukarela dan profesional sehingga Kita bisa
makin kreatif dan inovatif,†ujarnya. “Mari kita berpikir positif, jangan
mencaci-maki, jangan saling benci, mari bergandeng tangan membangun Indonesia
dan mendukung koordinator terpilih.â€
Situasi Dilematis
Sekolah di luar
negeri, lulus, dan memilih untuk lanjut bekerja di negara yang sama serta tentu dengan tawaran jumlah gaji yang
menggiurkan, sudah jadi alasan umum kalau para mahasiswa Indonesia jadi enggan
kembali ke tanah air. Bukan kembali ke negara
dan bangsa sendiri tetapi impian hidup lebih sejahtera dengan rekening tabungan
yang terus bertambah, pliihan mereka untuk tetap
di luar negeri adalah karena jurusan yang mereka ambil saat kuliah, nyatanya
justru ada yang “tidak terpakai†oleh kebutuhan pasar kerja di tanah air.
Situasi inilah yang diakui bahkan sempat membuat banyak lulusan luar negeri
yang depresi karena bingung dengan pilihan pekerjaan yang sesuai dengan bidang
keilmuan mereka.
Adalah seorang
lulusan luar negeri bernama Putri Dwimirnani, Alumni S2 Space Syntax,
University College London ini mengakui bahwa jurusan yang diambilnya saya
kuliah di luar negeri justru tidak dapat dimanfaatkan saat dirinya pulang dan
mencari pekerjaan. Putri sendiri sebelumnya menyelesaikan pendidkan S1 jurusan
Desain Interior di Institut Teknologi Bandung (ITB).
“Di Inggris, saya
termasuk manusia langka. Hingga saat ini, saya adalah satu-satunya orang yang
berprofesi sebagai lighting designer dan mengambil program tersebut, lalu
memadukan ilmu pencahayaan dengan Space Syntax. Andai saya tinggal di negara
maju, sudah pasti akan diperebutkan oleh berbagai kampus atau perusahaan yang
bergerak di bidang tersebut. Jujur, saya sempat tergoda untuk menetap di sana.
Tapi, saya terngiang-ngiang perkataan mantan bos saya kala itu, “Kalau semua
orang pintar tinggal di luar negeri, lalu siapa yang mau membangun negara ini?â€
tulis Putri dalam unggahannya di id.quora.com. “Akhirnya, saya pulang. Tapi,
hingga detik ini, ilmu yang susah payah saya pelajari di sana belum bisa
digunakan dengan maksimal. Saya sudah berusaha mempresentasikan ilmu ini ke
beberapa firma arsitektur, kampus-kampus ternama, hingga sengaja menyisipkan ke
dalam proyek-proyek tertentu meski tanpa menerima bayaran tambahan. Tetap saja,
saya tidak mampu ‘menggugah’ mereka sebagaimana saya membuat para akademisi dan
praktisi di luar negeri terkesima saat menyaksikan hasil penelitian saya.â€
Putri yang lulus
S2-nya di tahun 2016 lalu ini mencatat beberapa hal penting tentang situasi
yang dialaminya ini. Berdasarkan pengamatan dan pengalamannya sendiri, Putri
melihat bahwa ada yang aneh dengan sistem pendidikan kita. Di negara-negara
maju, jurusan yang ditawarkan untuk program master biasanya justru lebih
mengerucut. Â Misalnya, untuk jurusan
Arsitektur, program pascasarjana yang ditawarkan akan mengerucut menjadi lebih
detail, seperti Architecture History, Urban Design, atau jurusan yang saya
ambil: Space Syntax. “Sementara, di ITB program yang ditawarkan justru
‘melebar/meluas’. Contohnya, jika di jenjang sarjana ada macam-macam jurusan
desain seperti Desain Interior, Desain Komunikasi Visual, dan Desain Produk,
maka untuk jenjang pascasarjana hanya ada satu: Desain. Dari sini, bisa dilihat
bahwa pendidikan di luar negeri memiliki kecenderungan untuk semakin fokus,
sementara di Indonesia ilmunya justru semakin meluas,†tulis Putri lagi.
Keadaan serupa,
diakui Putri, juga dirasakan oleh teman-teman ‘senasib’ yang lulus dari jurusan
lain di kampus-kampus luar negeri. Banyak yang mengeluh kesulitan mendapat
kerja setelah kembali ke negara ini, padahal di luar negeri mereka bisa dihargai
sangat tinggi karena kompetensinya.
“Bayangkan. Semasa
kuliah, kepala kami dipenuhi inspirasi dan harapan untuk membangun negeri.
Ketika kembali, kami dihadapkan pada kenyataan pahit yang mengharuskan kami
untuk memilih antara menerima pekerjaan yang tidak sesuai keahlian/kompetensi
atau bertahan dengan idealisme, dengan konsekuensi harus terbelit dalam jeratan
ekonomi. Percaya atau tidak, banyak
lulusan luar negeri yang terkena depresi akibat dilema ini, termasuk saya.
Sebab, di saat kami harus merelakan ilmu yang sudah susah payah dipelajari,
teman-teman dari negara lain justru sedang memetik kesuksesan. Mereka yang dulu
tidak lebih pandai dibandingkan kami, kini bekerja di perusahaan-perusahaan
internasional ternama dan mengisi posisi penting. Sementara, kami yang lulus
cumlaude kini terpaksa bekerja di perusahaan yang terkadang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan apa yang dulu dipelajari. Mengapa tidak membuka
perusahaan sendiri? Karena tidak semua orang memiliki modal atau kemampuan
untuk mengelola perusahaan. Sesederhana itu!†tulis Putri.
Akhirnya, menurut
Putri, masalah dilematis ini dapat kembali berpulang kepada diri masing-masing
para lulusan luar negeri. “Kembali lagi kepada tujuan awal, mengapa kita kuliah
di luar negeri? Jika sekadar ingin meraih gelar demi mendapatkan kenaikan gaji,
maka bekerja di bidang apa pun tidak menjadi masalah. Tapi, mereka yang memang
pada dasarnya ingin fokus pada bidang ilmu tertentu dan menjadi seorang tenaga
ahli akan merasa bahwa kembali ke Indonesia merupakan pilihan yang sangat berat
untuk dijalani,†tutup Putri dalam tulisannya.
Ketika nasionalisme dipertanyakan, sementara kebutuhan dan cita-cita pribadi begitu besar, mana yang kemudian harus didahulukan? Mengabdi kepada negara dengan segala usaha dan kemampuan terbaik akan jadi panggilan jiwa tersendiri bagi mereka yang terpilih. Namun, bila kemudian memilih tetap tinggal di luar negeri dan mengadu nasib, itu adalah hal hidup mendasar yang dimiliki semua orang. Meski saat ditanya seberapa nasionalis, jawaban sederhana yang muncul adalah tetap di luar negeri tanpa pernah melepaskan status WNI itu. Itu sudah cukup katanya!â€
(*)diolah dari berbagai sumber
Komentar pada Berita Ini (0)